Tujuh kali Naik Haji Tidak Bisa Lihat Ka'bah (Kisah Nyata)
"Kubur
adalah rumah akhirat pertama, Bila selamat dikubur, maka yang setelahnya
menjadi lebih mudah, bila tidak selamat di kubur, maka yang setelahnya lebih
sulit." (HR. Tirmidzi dan Ibn Majah)
***************
Wanita ini luar biasa kejinya, ia
mencari uang dengan berbagai cara, tukar menukar bayi, bahkan memasukkan jimat
ke dalam mulut jenazah yang dimandikannya. Ketika ajalnya tiba, bumi tak mau
menerimanya. Ia mati tergulung api.
***************
Sebagai seorang anak yang berbakti
kepada orang tuanya, Hasan (bukan nama sebenarnya), mengajak ibunya untuk
menunaikan rukun Islam yang kelima. Sarah (juga bukan nama sebenarnya), sang
Ibu, tentu senang dengan ajakan anaknya itu. Sebagai muslim yang mampu secara
materi, mereka memang berkewajiban menunaikan ibadah Haji.
Segala perlengkapan sudah disiapkan.
Singkatnya ibu anak-anak ini
akhirnya berangkat ke tanah suci.
Kondisi keduanya sehat wal afiat, tak kurang satu apapun. Tiba harinya mereka
melakukan thawaf dengan hati dan niat ikhlas menyeru panggilan Allah, Tuhan
Semesta Alam. "Labaik allahuma labaik, aku datang memenuhi seruanMu ya
Allah".
Hasan menggandeng ibunya dan berbisik,
"Ummi undzur ila Ka'bah (Bu, lihatlah Ka'bah)." Hasan menunjuk kepada
bangunan empat persegi berwarna hitam itu. Ibunya yang berjalan di sisi anaknya
tak beraksi, ia terdiam. Perempuan itu sama sekali tidak melihat apa yang
ditunjukkan oleh anaknya. Hasan kembali membisiki ibunya. Ia tampak bingung
melihat raut wajah ibunya. Di wajah ibunya tampak kebingungan. Ibunya sendiri
tak mengerti mengapa ia tak bisa melihat apapun selain kegelapan beberapakali
ia mengusap-usap matanya, tetapi kembali yang tampak hanyalah kegelapan.
Padahal, tak ada masalah dengan kesehatan matanya. Beberapa menit yang lalu ia
masih melihat segalanya dengan jelas, tapi mengapa memasuki Masjidil Haram
segalanya menjadi gelap gulita.
Tujuh kali Haji Anak yang sholeh itu
bersimpuh di hadapan Allah. Ia shalat memohon ampunan-Nya. Hati Hasan begitu sedih.
Siapapun yang datang ke Baitulah, mengharap rahmatNYA. Terasa hampa menjadi
tamu Allah, tanpa menyaksikan segala kebesaran-Nya, tanpa merasakan kuasa-Nya
dan juga rahmat-Nya.
Hasan tidak berkecil hati, mungkin
dengan ibadah dan taubatnya yang sungguh-sungguh, Ibundanya akan dapat
merasakan anugrah-Nya, dengan menatap Ka'bah, kelak. Anak yang saleh itu
berniat akan kmebali membawa ibunya berhaji tahun depan. Ternyata nasib baik
belum berpihak kepadanya. Tahun berikutnya kejadian serupa terulang lagi.
Ibunya kembali dibutakan di dekat Ka'bah, sehingga tak dapat menyaksikan
bangunan yang merupakan symbol persatuan umat Islam itu. Wanita itu tidak bisa
melihat Ka'bah. Hasan tidak patah arang. Ia kembali membawa ibunya ke tanah
suci tahun berikutnya. Anehnya, ibunya tetap saja tak dapat melihat Ka'bah.
Setiap berada di Masjidil Haram, yang tampak di matanya hanyalah gelap dan
gelap. Begitulah keganjilan yang terjadi pada diri Sarah. hingga kejadian itu
berulang sampai tujuh kali menunaikan ibadah haji.
Hasan tak habis pikir, ia tak mengerti,
apa yang menyebabkan ibunya menjadi buta di depan Ka'bah. Padahal, setiap
berada jauh dari Ka'bah, penglihatannya selalu normal. Ia bertanya-tanya,
apakah ibunya punya kesalahan sehingga mendapat azab dari Allah SWT ?. Apa yang
telah diperbuat ibunya, sehingga mendapat musibah seperti itu ? Segala
pertanyaan berkecamuk dalam dirinya. Akhirnya diputuskannya untuk mencari
seorang alim ulama, yang dapat membantu permasalahannya. Beberapa saat kemudian
ia mendengar ada seorang ulama yang terkenal karena kesholehannya dan
kebaikannya di Abu Dhabi
(Uni Emirat).
Tanpa kesulitan berarti, Hasan dapat
bertemu dengan ulama yang dimaksud. Ia pun mengutarakan masalah kepada ulama
yang saleh ini. Ulama itu mendengarkan dengan seksama, kemudian meminta agar
Ibu dari hasan mau menelponnya. anak yang berbakti ini pun pulang. Setibanya di
tanah kelahirannya, ia meminta ibunya untuk menghubungi ulama di Abu Dhabi tersebut.
Beruntung, sang Ibu mau memenuhi permintaan anaknya. Ia pun mau menelpon ulama
itu, dan menceritakan kembali peristiwa yang dialaminya di tanah suci. Ulama
itu kemudian meminta Sarah introspeksi, mengingat kembali, mungkin ada
perbuatan atau peristiwa yang terjadi padanya di masa lalu, sehingga ia tidak
mendapat rahmat Allah. Sarah diminta untuk bersikap terbuka, mengatakan dengan
jujur, apa yang telah dilakukannya.
"Anda harus berterus terang kepada
saya, karena masalah Anda bukan masalah sepele," kata ulama itu pada
Sarah. Sarah terdiam sejenak. Kemudian ia meminta waktu untuk memikirkannya.
Tujuh hari berlalu, akan tetapi ulama itu tidak mendapat kabar dari Sarah. Pada
minggu kedua setelah percakapan pertama mereka, akhirnya Sarah menelpon.
"Ustad, waktu masih muda, saya bekerja sebagai perawat di rumah
sakit," cerita Sarah akhirnya.
"Oh, bagus.....Pekerjaan perawat
adalah pekerjaan mulia," potong ulama itu.
"Tapi saya mencari uang
sebanyak-banyaknya dengan berbagai cara, tidak peduli, apakah cara saya itu
halal atau haram," ungkapnya terus terang.
Ulama itu terperangah. Ia tidak
menyangka wanita itu akan berkata demikian.
"Disana...." sambung Sarah,
"Saya sering kali menukar bayi, karena tidak semua ibu senang dengan bayi
yang telah dilahirkan. Kalau ada yang menginginkan anak laki-laki, padahal bayi
yang dilahirkannya perempuan, dengan imbalan uang, saya tukar bayi-bayi itu
sesuai dengan keinginan mereka."
Ulama tersebut amat terkejut mendengar
penjelasan Sarah.
"Astagfirullah......" betapa
tega wanita itu menyakiti hati para ibu yang diberi amanah Allah untuk
melahirkan anak. bayangkan, betapa banyak keluarga yang telah dirusaknya,
sehingga tidak jelas nasabnya. Apakah Sarah tidak tahu, bahwa dalam Islam
menjaga nasab atau keturunan sangat penting. Jika seorang bayi ditukar, tentu
nasabnya menjadi tidak jelas. Padahal, nasab ini sangat menentukan dalam
perkawinan, terutama dalam masalah mahram atau muhrim, yaitu orang-orang yang
tidak boleh dinikahi.
"Cuma itu yang saya lakukan,"
ucap Sarah.
"Cuma itu ?" tanya ulama
terperangah. "Tahukah anda bahwa perbuatan Anda itu dosa yang luar biasa,
betapa banyak keluarga yang sudah Anda hancurkan !". ucap ulama dengan
nada tinggi.
"Lalu apa lagi yang Anda kerjakan
?" tanya ulama itu lagi sedikit kesal.
"Di rumah sakit, saya juga
melakukan tugas memandikan orang mati."
"Oh bagus, itu juga pekerjaan
mulia," kata ulama
"Ya, tapi saya memandikan orang
mati karena ada kerja sama dengan tukang sihir."
"Maksudnya ?". tanya ulama
tidak mengerti.
"Setiap saya bermaksud
menyengsarakan orang, baik membuatnya mati atau sakit, segala perkakas sihir
itu sesuai dengan syaratnya, harus dipendam di dalam tanah. Akan tetapi saya
tidak menguburnya di dalam tanah, melainkan saya masukkan benda-benda itu ke
dalam mulut orang yang mati."
"Suatu kali, pernah seorang alim
meninggal dunia. Seperti biasa, saya memasukkan berbagai barang-barang tenung
seperti jarum, benang dan lain-lain ke dalam mulutnya. Entah mengapa
benda-benda itu seperti terpental, tidak mau masuk, walaupun saya sudah
menekannya dalam-dalam. Benda-benda itu selalu kembali keluar. Saya coba lagi
begitu seterusnya berulang-ulang. Akhirnya, emosi saya memuncak, saya masukkan
benda itu dan saya jahit mulutnya. Cuma itu dosa yang saya lakukan."
Mendengar penuturan Sarah yang datar
dan tanpa rasa dosa, ulama itu berteriak marah.
"Cuma itu yang kamu lakukan
?". "Masya Allah....!!! Saya tidak bisa bantu anda. Saya angkat
tangan".
Ulama itu amat sangat terkejutnya
mengetahui perbuatan Sarah. Tidak pernah terbayang dalam hidupnya ada seorang
manusia, apalagi ia adalah wanita, yang memiliki nurani begitu tega, begitu
keji. Tidak pernah terjadi dalam hidupnya, ada wanita yang melakukan perbuatan
sekeji itu. Akhirnya ulama itu berkata, "Anda harus memohon ampun kepada
Allah, karena hanya Dialah yang bisa mengampuni dosa Anda."
Bumi menolaknya
Setelah beberapa lama, sekitar tujuh
hari kemudian ulama tidak mendengar kabar selanjutnya dari Sarah. Akhirnya ia
mencari tahu dengan menghubunginya melalui telepon. Ia berharap Sarah telah
bertobat atas segala yang telah diperbuatnya. Ia berharap Allah akan mengampuni
dosa Sarah, sehingga Rahmat Allah datang kepadanya. Karena tak juga memperoleh
kabar, ulama itu menghubungi keluarga Hasan di mesir. Kebetulan yang menerima
telepon adalah Hasan sendiri. Ulama menanyakan kabar Sarah, ternyata kabar duka
yang diterima ulama itu.
"Ummi sudah meninggal dua hari setelah
menelpon ustad," ujar Hasan Ulama itu terkejut mendengar kabar tersebut.
"Bagaimana ibumu meninggal, Hasan ?". tanya ulama itu.
Hasanpun akhirnya bercerita :
Setelah menelpon sang ulama, dua hari
kemudian ibunya jatuh sakit dan meninggal dunia. Yang mengejutkan adalah
peristiwa penguburan Sarah. Ketika tanah sudah digali, untuk kemudian
dimasukkan jenazah atas ijin Allah, tanah itu rapat kembali, tertutup dan
mengeras. Para penggali mencari lokasi lain
untuk digali. Peristiwa itu terulang kembali. Tanah yang sudah digali kembali
menyempit dan tertutup rapat. Peristiwa itu berlangsung begitu cepat, sehingga
tidak seorangpun pengantar jenazah yang menyadari bahwa tanah itu kembali
rapat. Peristiwa itu terjadi berulang-ulang. Para
pengantar yang menyaksikan peristiwa itu merasa ngeri dan merasakan sesuatu
yang aneh terjadi. Mereka yakin, kejadian tersebut pastilah berkaitan dengan
perbuatan si mayit.
Waktu terus berlalu, para penggali
kubur putus asa dan kecapaian karena pekerjaan mereka tak juga usai. Siangpun
berlalu, petang menjelang, bahkan sampai hampir maghrib, tidak ada satupun
lubang yang berhasil digali. Mereka akhirnya pasrah, dan beranjak pulang.
Jenazah itu dibiarkan saja tergeletak di hamparan tanah kering kerontang.
Sebagai anak yang begitu sayang dan
hormat kepada ibunya, Hasan tidak tega meninggalkan jenazah orang tuanya
ditempat itu tanpa dikubur. Kalaupun dibawa pulang, rasanya tidak mungkin.
Hasan termenung di tanah perkuburan seorang diri. Dengan ijin Allah, tiba-tiba
berdiri seorang laki-laki yang berpakaian hitam panjang, seperti pakaian khusus
orang Mesir. Lelaki itu tidak tampak wajahnya, karena terhalang tutup kepalanya
yang menjorok ke depan. Laki-laki itu mendekati Hasan kemudian berkata
padanya," Biar aku tangani jenazah ibumu, pulanglah !". kata orang
itu. Hasan lega mendengar bantuan orang tersebut, Ia berharap laki-laki itu
akan menunggu jenazah ibunya. Syukur-syukur mau menggali lubang untuk kemudian
mengebumikan ibunya. "Aku minta supaya kau jangan menengok ke belekang,
sampai tiba di rumahmu, "pesan lelaki itu. Hasan mengangguk, kemudian ia
meninggalkan pemakaman. Belum sempat ia di luar lokasi pemakaman, terbersit
keinginannya untuk mengetahui apa yang terjadi dengan jenazah ibunya.
Sedetik kemudian ia menengok ke
belakang. Betapa pucat wajah Hasan, melihat jenazah ibunya sudah dililit api,
kemudian api itu menyelimuti seluruh tubuh ibunya. Belum habis rasa herannya,
sedetik kemudian dari arah yang berlawanan, api menerpa wajah Hasan. Hasan
ketakutan. Dengan langkah seribu, ia pun bergegas meninggalkan tempat itu.
Demikian yang diceritakan Hasan kepada ulama itu. Hasan juga mengaku, bahwa
separuh wajahnya yang tertampar api itu kini berbekas kehitaman karena
terbakar. Ulama itu mendengarkan dengan seksama semua cerita yang diungkapkan
Hasan. Ia menyarankan, agar Hasan segera beribadah dengan khusyuk dan meminta
ampun atas segala perbuatan atau dosa-dosa yang pernah dilakukan oleh ibunya.
Akan tetapi, ulama itu tidak menceritakan kepada Hasan, apa yang telah
diceritakan oleh ibunya kepada ulama itu.
Ulama itu meyakinkan Hasan, bahwa
apabila anak yang soleh itu memohon ampun dengan sungguh-sungguh, maka bekas
luka di pipinya dengan ijin Allah akan hilang. Benar saja, tak berapa lama
kemudian Hasan kembali mengabari ulama itu, bahwa lukanya yang dulu amat terasa
sakit dan panas luar biasa, semakin hari bekas kehitaman hilang. Tanpa tahu apa
yang telah dilakukan ibunya selama hidup, Hasan tetap mendoakan ibunya. Ia
berharap, apapun perbuatan dosa yang telah dilakukan oleh ibunya, akan diampuni
oleh Allh SWT.
Semoga kisah nyata dari Mesir ini bisa
menjadi pelajaran bagi kita semua. Amien.